SHALAT GERHANA MATAHARI
Shalat Gerhana Matahari merupakan shalat sunah yang disyariatkan mulai tahun kedua
Hijriyyah berdasarkan kitab Hasyiatus Syeikh Ibrahim al–Bajuri (Ibrahim al–Baijuri,
Hasyiyah al–Baijuri, Darul Kutub al–Islamiyyah, 1428 H/2007 M, juz I, halaman 434).
Berdasarkan kajian ilmu falak, terjadi peristiwa Gerhana Matahari Total 21 Juni 624 M.
Gerhana tersebut terlihat sebagai gerhana sebagian dari kotasuci Madinah dan berlangsung
pada saat Matahari dalam proses terbenam pada bulan–bulan musim panas. Data hisab Five
Millenium Canon of Solar Eclipses (Fred Espenak, NASA, 2006 M) menunjukkan gerhana
kemungkinan dapat teramati selama maksimum 25 menit, dimulai dari kontak awal hingga
terbenamnya Matahari. Yang lebih penting, sekitar seperempat cakram Matahari tertutupi
Bulan tepat saat Matahari hendak terbenam. Peristiwa ini yang nampaknya menjadi latar
belakang disyariatkannya shalat Gerhana Matahari.
Shalat Gerhana Matahari bersifat sunah mu’akkadah sebagaimana pendapat jumhur
ulama seperti termaktub dalam kitab al–Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (Muhyiddin Syaraf
An–Nawawi, Kairo, Darul Hadits, 1431 H/2010 M, juz VI, halaman 106). Tata cara Shalat
Gerhana Matahari adalah sebagai berikut :
1. Memastikan telah terjadinya Gerhana Matahari terlebih dahulu. Dapat dilakukan dengan melihat secara langsung ataupun menghubungi titik–titik pengamatan Gerhana Matahari 29 Rabiul Akhir 1441 yang digelar Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (lihat bagian E).
2. Shalat gerhana dilakukan saat Gerhana Matahari sedang terjadi. Terkait Gerhana Matahari 29 Rabiul Akhir 1441 H, shalat gerhana dapat diselenggarakan tepat setelah menyelenggarakan shalat Dhuhur berjamaah. Patokan lainnya, shalat Gerhana Matahari dapat diselenggarakan terpisah dari shalat Dhuhur dan mengacu pada waktu pertengahan (waktu puncak gerhana) yang disajikan gambar berikut ini :
1. Memastikan telah terjadinya Gerhana Matahari terlebih dahulu. Dapat dilakukan dengan melihat secara langsung ataupun menghubungi titik–titik pengamatan Gerhana Matahari 29 Rabiul Akhir 1441 yang digelar Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (lihat bagian E).
2. Shalat gerhana dilakukan saat Gerhana Matahari sedang terjadi. Terkait Gerhana Matahari 29 Rabiul Akhir 1441 H, shalat gerhana dapat diselenggarakan tepat setelah menyelenggarakan shalat Dhuhur berjamaah. Patokan lainnya, shalat Gerhana Matahari dapat diselenggarakan terpisah dari shalat Dhuhur dan mengacu pada waktu pertengahan (waktu puncak gerhana) yang disajikan gambar berikut ini :
3. Sebelum shalat, jamaah dapat diingatkan dengan ungkapan : ”as–shalâtu jâmi'ah.”
Tidak ada adzan dan iqomah.
4. Niat melakukan Shalat Gerhana Matahari untuk menjadi imam atau ma’mum:
4. Niat melakukan Shalat Gerhana Matahari untuk menjadi imam atau ma’mum:
5. Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat. Setiap rakaat terdiri dari dua kali ruku’ dan dua kali sujud.
6. Setelah ruku’ pertama dari setiap rakaat membaca al–Fatihah dan surat kembali. Bacaan boleh dikeraskan namun disunnahkan untuk dipelankan.
7. Pada rakaat pertama, bacaan surat pertama lebih panjang daripada surat kedua. Demikian pula pada rakaat kedua, bacaan surat pertama lebih panjang daripada surat kedua.
8. Setelah shalat disunahkan untuk berkhotbah. Sebaiknya shalat Gerhana Matahari memperhatikan persoalan ruku’–nya. Yakni ruku’ yang pertama dalam rakaat pertama lebih panjang dari yang kedua. Menurut keterangan dalam kitab–kitab fikih madzhab Syafi’i, pada ruku’ pertama membaca tasbih yang lamanya kira–kira sama dengan membaca seratus ayat dari surat Al–Baqarah.
Sedangkan
pada ruku’ kedua lamanya kira–kira setara delapan puluh ayat dari surat al–Baqarah. Begitu
juga yang berlaku bagi rakaat kedua. Untuk ruku’ pertama pada rakaat kedua membaca
tasbih yang lamanya kira–kira sama dengan membaca tujuh puluh ayat surat Al–Baqarah.
Demikian pula pada ruku’ kedua membaca tasbih yang lamanya kira–kira sama dengan
membaca lima puluh ayat dari surat al–Baqarah.
Mengenai lamanya sujud dalam shalat Gerhana Matahari, pendapat yang sahih menurut
Muhammad az–Zuhri al–Ghamrawi adalah pendapat yang menyatakan bawha sujud juga
lama. Yakni lamanya kira–kira sama seperti lamanya ruku’.
Sehingga sujud pertama dalam
rakaat pertama dengan membaca tasbih yang lamanya kira–kira seratus ayat surat Al–
Baqarah. Dan untuk sujud kedua lamanya kira–kira sama dengan membaca delapan puluh
ayat. Demikian halnya untuk sujud pertama dalam rakaat kedua, lamanya kira–kira sama
dengan membaca tujuh puluh ayat surat Al–Baqarah. Dan sujud kedua dalam rakaat kedua
lamanya sama dengan membaca lima puluh ayat.
“Bertasbih dalam ruku’ pertama kira–kira lamanya seperti lamanya membaca seratus ayat
dari surat Al–Baqarah, ruku’ kedua delapan puluh ayat, ketiga tujuh puluh ayat dan
keempat lima puluh ayat. Saya berpendapat bahwa pendapat yang sahih adalah
memanjangkan sujud sebagaimana dalam hadits sahih yang diriwayatkan Bukhari–
Muslim dan pendapat imam Syafi’i yang terdapat dalam kitab Mukhtashar Al–Buwaithi
bahwa ia memanjangkan sujud seperti memanjangkan ruku’ yang sebelum sujud. Wallahu
a’lam.
Karenanya, sujud yang pertama itu panjangnya seperti ruku’ yang pertama begitu
seterusnya. Shalat gerhana matahari sunah dilaksanakan secara berjamaah dan diseru
dengan ungkapan ash–shalâtu jâmi’ah. Disunahkan meninggikan suara ketika membaca
surat dalam shalat gerhana bulan, bukan gerhana matahari bahkan memelankan bacaan
suratnya karena shalat gerhana matahari merupakan shalat sunah yang dilakukan siang
8
hari,” (Lihat Muhammad Az–Zuhri Al–Ghamrawi, As–Sirajul Wahhaj, Beirut, Darul
Ma’rifah, tt, 98).
Usai pelaksanaan shalat Gerhana Matahari, maka dilanjutkan dengan dua khutbah
sebagaimana halnya khotbah Jumat. Namun apabila shalat sunah Gerhana Matahari
dilaksanakan dengan sendirian, tidak perlu adanya khutbah. Khutbah juga tidak perlu
dilaksanakan apabila semua jamaahnya adalah perempuan. Tetapi jika ada salah satu dari
perempuan tersebut yang kemudian berdiri untuk memberikan mauidlah, maka tidak ada
masalah (la ba’sa bih).
“Kemudian imam berkhotbah atau orang yang menggantikan imam. Khotbah dikhususkan
bagi orang laki–laki yang yang mengikuti shalat tersebut secara jamaah. Karenanya, tidak
ada khutbah bagi orang yang shalat sendirian juga bagi jamaah perempuan, (akan tetapi,
pent) jika salah satu dari jamaah perempuan berdiri dan memberikan mauidlah, tidak apa–
apa sebagaimana dalam khotbah shalat ‘ied,” (Lihat Ibrahim Al–Baijuri, Hasyiyatus
Syeikh Ibrahim Al–Baijuri, Indonesia, Darul Kutub Al–Islamiyyah, 1428 H/2007 M, juz I,
halaman 438).
Catatan : sebagian dari penjelasan ini mengutip dari redaksi Bahsul Masail NU Online yang
dipublikasikan 7 Maret 2016 M.
There additionally be|can be} no need to fret about finding the best guess for doubling and splitting – everything is automatic at the click of a button. As with all on line casino video games there is a house edge built into the sport of blackjack. For example, reality that|the truth that} the player should act first means they will bust their hand before the dealer takes a card. When played excellent strategy, the house edge on blackjack could be decreased significantly to as low as zero.2% or even zero.1%, depending on the home guidelines. This shows the table after the initial bets have been placed and the 카지노사이트 playing cards have been dealt.
BalasHapus